A. Ciri dan Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Pesisir
Kemiskinan adalah ciri
yang sangat menonjol dari kehidupan masyarakat pesisir di Indonesia, khususnya
nelayan. Secara umum nelayan lebih miskin dibanding petani. Hal ini terutama
disebabkan oleh:
1. tantangan
alam yang dihadapi nelayan sangat berat, termasuk faktor musim;
2. pola kerja yang homogen dan bergantung hanya pada
satu sumber penghasilan;
3. keterbatasan
penguasaan modal, perahu, dan alat tangkap;
4. keadaan
pemukiman dan perumahan yang tidak memadai;
5. karakteristik
sosial-ekonomi belum mengarah pada sektor jasa lingkungan (Rahardjo, 1999),
seperti kegiatan wisata.
Menurut Horton et. al.
(1991) mendefinisikan masyarakat sebagai sekumpulan manusia yang secara relatif
mandiri, cukup lama hidup bersama, mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki
kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya di dalam
kelompok tersebut. Ralph Linton (1956), dalam Sitorus et. al. (1998), mengartikan
masyarakat sebagai kelompok manusia yang telah hidup dan bekerjasama cukup lama
sehingga mereka dapat mengatur dan menganggap diri mereka sebagai satu kesatuan
sosial dengan batas-batas yang dirumuskan secara jelas. Sementara Soejono
Soekanto (1990) merinci unsur-unsur masyarakat sebagai berikut:
a. manusia
hidup bersama
b. bercampur
dalam waktu yang lama
c. sadar
sebagai satu kesatuan
d. sadar
sebagai suatu sistem hidup bersama
Menurut
Nikijuluw (2003), yang dimaksud masyarakat pesisir adalah kelompok orang yang tinggal
di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara
langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir; mereka terdiri dari
nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya,
pedagang ikan, pengolah ikan, pemasok faktor sarana produksi perikanan. Dalam bidang
nonperikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa pariwisata,
penjual jasa transportasi, serta kelompok lainnya yang memanfaatkan sumberdaya
nonhayati laut dan pesisir untuk menyokong kehidupannya.
Nelayan,
pembudidaya ikan, dan pedagang merupakan kelompok masyarakat pesisir yang
secara langsung mengusahakan dan memanfaatkan sumberdaya ikan melalui kegiatan
penangkapan dan budidaya. Kelompok ini pula yang mendominasi pemukiman di wilayah
pantai pada pulau-pulau besar dan kecil di Indonesia (Nikijuluw, 2003).
Masyarakat pesisir ada yang menjadi pengusaha skala kecil dan menengah, namun
lebih banyak dari mereka yang bersifat subsistem, menjalani usaha dan kegiatan
ekonominya untuk menghidupi keluarga sendiri, dengan skala yang begitu kecil
sehingga hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek.
Dari
sisi usaha perikanan, kelompok masyarakat pesisir yang miskin terdiri dari
rumah tangga perikanan yang menangkap ikan tanpa menggunakan perahu,
menggunakan perahu tanpa motor, dan perahu bermotor tempel. Dengan skala usaha
seperti ini, nelayan hanya mampu menangkap ikan di daerah dekat pantai. Dalam
kasus tertentu, nelayan dapat bekerja sama atau bermitra dengan perusahaan
besar, sehingga mereka dapat pergi menangkap ikan lebih jauh dari pantai
(Nikijuluw, 2003). Namun demikian, peningkatan penghasilan dari hasil kerja
sama ini tidak banyak berarti karena jumlah anggota rumah tangga yang besar
menyebabkan jumlah penghasilan mereka belum mencukupi untuk menutupi kebutuhan
hidup sehari-hari.
Kemiskinan
sebagai indikator ketertinggalan masyarakat pesisir ini disebabkan oleh tiga
hal pokok, yaitu kemiskinan struktural, superstruktural, dan kultural
(Nikijuluw, 2003).
1. Kemiskinan
struktural adalah struktur sosial-ekonomi masyarakat, ketersediaan insentif
atau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaan
teknologi, dan ketersediaan sumberdaya pembangunan, khususnya sumberdaya alam.
2. Kemiskinan
superstruktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel kebijakan
makro yang tidak atau kurang berpihak pada pembangunan masyarakat nelayan.
3. Kemiskinan
kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel yang melekat,
inheren, dan menjadi gaya hidup tertentu yang menyebabkan individu yang
bersangkutan sulit keluar dari kemiskinan karena faktor tersebut tidak disadari
atau tidak diketahui oleh individu yang bersangkutan.
Kemiskinan
masyarakat pesisir, khususnya nelayan, lebih banyak disebabkan karena faktor sosial-ekonomi
yang terkait karakteristik sumberdaya dan teknologi yang digunakan. Smith
(1979) dan Anderson (1979) berkesimpulan bahwa kekuatan aset perikanan adalah
alasan utama kenapa nelayan tetap bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya
tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan itu. Kekakuan aset adalah
sifat aset perikanan yang sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan
fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya, pada saat
produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalihfungsikan
atau melikuidasi aset tersebut. Oleh sebab itu, meskipun rendah produktivitas,
nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya tidak lagi
efisien secara ekonomis.
Subade
dan Abdullah (1993) mengemukakan pendapat lain, bahwa nelayan bertahan pada
industry perikanan karena terbatasnya opportunity
cost mereka. Opportunity cost nelayan
adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak
menangkap ikan. Bila opportunity cost rendah,
maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut
tidak lagi menguntungkan dan efisien. Panayotou (1982) menekankan bahwa nelayan
lebih senang memiliki kepuasan hidup yang diperoleh dari hasil menangkap ikan
dibandingkan kegiatan yang hanya berorientasi pada peningkatan pendapatan.
Jalan hidup seperti ini sulit untuk mengeluarkan nelayan dari kemiskinan karena
nelayan merasa sudah bahagia dengan kehidupan itu.
B. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Dalam bagian ini, terdapat dua satuan konsep yang harus
dijelaskan lebih dahulu yakni konsep pemberdayaan dan masyarakat pesisir.
Pemberdayaan adalah sebagai proses memampukan dan memandirikan masyarakat yang
didasarkan pada unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat (Hikayat, 2001).
Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang berdiam dan mengembangkan kehidupan
sosial di perairan laut atau dekat perairan laut dan secara khas menghabiskan
sebagian besar masa hidupnya di atas perairan laut.
Pemberdayaan masyarakat
pesisir dalam makalah ini adalah upaya untuk membangun kemampuan masyarakat
pesisir Muara Angke sebagai salah satu kelompok masyarakat yang mengembangkan
kehidupan di perairan laut dan hidup dalam kondisi marginal yang
diharapkan mampu memperbaiki akses
terhadap modal, informasi dan teknologi perikanan sehingga masyarakat
pesisir Muara Angke dapat lebih mudah memasarkan hasil perikanannya,
mendapatkan surplus dan meningkatkan taraf kesejahteraan.
Berdasarkan konsep pembangunan masyarakat yang menekankan pada pemberdayaan
maka diformulasikan sasaran pemberdayaan masyarakat pesisir, khususnya nelayan
dan petani ikan yang tinggal di kawasan pesisir pulau kecil dan besar, yang
adalah sebagai berikut:
· Tersedianya dan terpenuhinya
kebutuhan dasar manusia yang terdiri dari sandang, pangan, papan, kesehatan,
dan pendidikan.
· Tersedianya prasarana dan sarana
produksi secara lokal yang memungkinkan masyarakat dapat memperolehnya dengan
harga murah dan kualitas yang baik.
· Meningkatnya peran kelembagaan
masyarakat sebagai wadah aksi kolektif (collective action) untuk
mencapai tujuan-tujuan individu.
· Terciptanya kegiatan-kegiatan
ekonomi produktif di daerah yang memiliki ciri-ciri berbasis sumberdaya lokal (resource-based),
memiliki pasar yang jelas (market-based),
dilakukan secara berkelanjutan dengan memperhatikan kapasitas sumberdaya (environmental-based),
dimiliki dan dilaksanakan serta berdampak bagi masyarakat lokal (local society-based),
dan dengan menggunakan teknologi maju tepat guna yang berasal dari proses
pengkajian dan penelitian (scientific-based).
· Terciptanya hubungan transportasi
dan komunikasi sebagai basis atau dasar hubungan ekonomi antar kawasan pesisir
serta antara pesisir dan pedalaman.
· Terwujudnya struktur ekonomi
Indonesia yang berbasis pada kegiatan ekonomi di wilayah pesisir dan laut
sebagai wujud pemanfaatan dan pendayagunaan sumberdaya alam laut.
Pemberdayaan masyarakat
pesisir paling tidak memiliki dua dimensi pokok, yaitu dimensi kultural dan
strukrtural. Dimensi kultural mencakup upaya-upaya perubahan perilaku ekonomi,
orientasi pendidikan, sikap terhadap perkembangan teknologi, dan kebiasaan-kebiasaan.
Sedangkan dimensi struktural mencakup upaya perbaikan struktur sosial sehingga
memungkinkan terjadinya mobilitas vertikal nelayan. Perbaikan struktural
tersebut umumnya berupa penguatan solidaritas nelayan untuk selanjutnya dapat
berhimpun dalam suatu kelompok dan organisasi yang mampu memperjuangkan
kepentingan mereka.
Dalam pemberdayaan
nelayan secara strultural maupun kultural, perlu dipahami adanya keunikan
karakteristik sosial nelayan yang tentunya menuntut adanya pendekatan
pemberdayaan yang unik pula. Ada beberapa prinsip penting pemberdayaan yang
digunakan untuk seluruh konteks komunitas nelayan, yaitu:
a. Prinsip
Tujuan
Pemberdayaan
harus dilandasi tujuan yang jelas, dimana nelayan harus dianggap sebagai subyek
dalam pembangunan sehingga pendekatan yang dilakukan adalah membantu para
nelayan agar dapat membantu dirinya sendiri dengan pendidikan dan pelatihan.
Hal ini terdapat di dalam paradigma baru, yang asumsinya adalah nelayan
memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah dirinya sendiri.
b. Prinsip
pengetahuan dan penguatan nilai lokal
Pengetahuan
modern saat ini seringkali dianggap segala-galanya dan ampuh untuk mengatasi
berbagai persoalan yang dihadapi nelayan, padahal mereka memiliki sistem
pengetahuan sendiri yang penting dijadikan bekal dalam pemberdayaan, karena
pengetahuan tersebut sudah diwariskan turun-menurun. Begitu pula dengan nilai
lokal yang potensial sebagai landasan dalam pemberdayaan. Nilai lokal itu dapat
menjadi modal sosial yang penting untuk dikembangkan bagi kemajuan masyarakat
nelayan.
c. Prinsip
keberlanjutan
Berdasarkan
realita yang terjadi, proyek-proyek pemberdayaan yang sering dilakukan
kadangkala terjebak pada paradigma proyek yang mengharuskan tercapainya target
secara nyata dalam waktu yang singkat. Dengan demikian, prinsip keberlanjutan
seringkali diabaikan dalam proyek-proyek pemberdayaan selama ini dan hal
tersebut terjadi karena masih kuatnya paradigma proyek dalam setiap aktivitas
pemberdayaan. Inipun terjadi karena memang sifat proyek hanya sesaat dan tidak multiyears. Oleh karena itu, perlu
dipikirkan perubahan sistem administrasi proyek yang terkait dengan program
pemberdayaan agar program pemberdayaan dapat berjalam efektif tanpa batasan
administrasu yang seringkali menghambat.
d. Prinsip
ketepatan kelompok sasaran
Pihak
pelaksana pemberdayaan seringkali mendatangi elite desa yang lebih mudah
berkomunikasi meskipun sebenarnya jauh dari persoalan nelayan. Sementara itu,
nelayan miskin yang tidak mudah berkomunikasi malah jarang didatangi.
Akibatnya, informasi yang diperoleh justru bias dengan kepentingan informan
elite nelayan tersebut, sehingga banyak program pemberdayaan yang hanya
menyentuh elite nelayan yang sebebarnya tidak perlu diberdayakan. Oleh karena
itu, sudah saatnya pemberdayaan sosial nelayan saat ini berorientasi pada
kelompok sasaran yang tepat.
e. Prinsip
kesetaraan gender
Salah
satu ciri sosial nelayan adalah kuatnya peran wanita atau istri nelayan dalam
aktivitas ekonomi maupun pengambilan keputusan. Dalam posisi yang demikian,
sasaran pemberdayaan harus mencakup istri-istri nelayan juga. Seringkali
program pemberdayaan bias kepada laki-laki sehingga laki-laki yang selalu
diajak berdiskusi dan memecahkan masalah tanpa melibatkan istri mereka.
Kekurangberdayaan masyarakat
pesisir antara lain disebabkan oleh keterbatasan mereka dalam penguasaan ilmu,
teknologi, modal dan kelembagaan usaha. Paling tidak ada lima pendekatan pemberdayaan
masyarakat pesisir yang baru saja diimplementasikan.
Dengan adanya kelima pendekatan ini tidak berarti bahwa pendekatan lain tidak
ada. Kelima pendekatan ini dilaksanakan dengan memperhatikan secara
sungguh-sungguh aspirasi, keinginan, kebutuhan, pendapatan, dan potensi
sumberdaya yang dimiliki masyarakat. Uraian singkat tentang kelima program ini
adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan Mata Pencaharian Alternatif
Pertama, Pengembangan mata
pencaharian alternatif dilaksanakan dengan pertimbangan bahwa sumber daya pesisir secara umum dan perikanan tangkap secara khusus
telah banyak mengalami tekanan dan degradasi. Data empiris menunjukkan bahwa
sudah terlalu banyak nelayan yang berkonsentrasi di perairan tertentu. Malahan secara nasional, tampaknya jumlah
nelayan juga sudah berlebihan. Potensi ikan laut yang tersedia, kalau memang
benar estimasinya, sudah tidak mampu dijadikan andalan bagi peningkatan
kesejahteraan. Kalau jumlah ikan yang diperbolehkan ditangkap betul-betul
diambil semuanya maka berdasarkan perhitungan kasar secara rata-rata, nelayan sangat sulit untuk sejahtera.
2. Akses Terhadap Modal
Elemen kedua strategi
pemberdayaan nelayan adalah pengembangan akses modal. Strategi ini sangat penting karena pada dasarnya saat
ini masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan pembudidaya ikan sangat sulit
untuk memperoleh modal. Sifat bisnis perikanan yang musiman, ketidakpastian
serta resiko tinggi sering menjadi alasan keengganan bank menyediakan modal
bagi bisnis ini. Sifat bisnis perikanan seperti ini yang disertai dengan status
nelayan yang umumnya rendah dan tidak mampu secara ekonomi membuat mereka sulit
untuk memenuhi syarat-syarat perbankan yang selayaknya diberlakukan seperti
perlu adanya collateral, insurance dan equity.
3. Akses Terhadap Teknologi
Teknologi yang digunakan
masyarakat pesisir, khususnya nelayan, pada umumnya masih bersifat tradisional.
Karena itu maka produktivitas rendah dan akhirnya pendapatan rendah. Upaya
meningkatkan pendapatan dilakukan melalui perbaikan teknologi, mulai dari teknologi
produksi hingga pasca produksi dan pemasaran.
Upaya-upaya peningkatan akses
masyarakat terhadap teknologi belum banyak dilakukan. Hal ini karena adanya
kesulitan untuk mengindentifikasi jenis dan tipe teknologi yang dibutuhkan
masyarakat. Seringkali, justru masyarakatlah yang lebih maju dalam mencari dan
mengadopsi teknologi yang diinginkan. Sehingga kadang-kadang pemerintah
tertinggal. Dengan kata lain, dalam hal teknologi masyarakat lebih maju dari
pemerintah.
4. Akses Terhadap Pasar
Pasar adalah faktor penarik dan
bisa menjadi salah kendala utama bila pasar tidak berkembang. Karena itu maka
membuka akses pasar adalah cara untuk mengembangkan usaha karena bila tidak ada
pasar maka usaha sangat terhambat perkembangannya. Untuk mengembangkan pasar
bagi produk-produk yang dihasilkan masyarakat pesisir maka upaya yang dilakukan
adalah mendekatkan masyarakat dengan perusahaan-perusahaan besar yang juga
adalah eksportir komoditas perikanan. Untuk itu maka kontrak penjualan produk
antara masyarakat nelayan dengan perusahaan ini dilaksanakan. Keuntungan dari
hubungan seperti ini yaitu masyarakat mendapat jaminan pasar dan harga,
pembinaan terhadap masyarakat terutama dalam hal kualitas barang bisa
dilaksanakan, serta sering kali masyarakat mendapat juga bantuan modal bagi
pengembangan usaha.
5. Pengembangan Aksi Kolektif
Pemberdayaan melalui pengembangan
aksi kolektif sama artinya dengan pengembangan koperasi atau kelompok usaha
bersama. Hanya di sini istilah yang digunakan adalah aksi kolektif yaitu untuk
membuka kesempatan kepada masyarakat membentuk kelompok-kelompok yang
diinginkannya yang tidak semata-mata koperasi atau kelompok usaha bersama.
REFERENSI:
Tuwo, H. Ambo. 2011.
Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut. Surabaya: Brilian Internasional.
The Minus Wedding Rings Titanium and Gold - Etching
BalasHapusAt titanium hair T-E Day we're adding croc titanium flat iron an exclusive titanium body jewelry feature-packed wedding ring rings titanium and gold. The titanium keychain Minus Wedding Rings titanium i phone case Titanium and Gold. Rating: 5 · 8 reviews